Sabtu, Juni 27, 2009

JARUM SUNTIK



Kalau ada pemilihan manusia yang paling takut jarum suntik, malaikat juga tahu pasti saya juara dunianya. Dan kalau hadiahnya piala bergilir, mungkin piala itu tidak akan pernah lepas dari saya. Memang benar benar memalukan. Apalagi dikenal sebagai anak dokter bedah senior, alangkah memalukannya jika melihat saya menggelepar gelepar saat mau disuntik bak kambing mau dipotong di rumah potong. Dan apesnya lagi nih, dari ketiga anak nya My Dad, yang paling sering terkapar di meja operasi tuh saya, jadi saya deh yang sering diketawain orang orang di Rumah Sakit saking takutnya saya disuntik. Seingat saya sudah dioperasi sekitar 5 kali, tumor di tangan, tumor di payudara, caesar tiga kali, dan yang terakhir nyaris “ bye bye “ dari dunia yang indah ini. Patah kaki dan patah tangan sudah berulang kali. Robek karena jatuh dan digigit anjing sudah langganan. Jadi sayalah manusia yang paling akrab dengan jarum suntik, benda yang paling menyebalkan di muka bumi di mata saya.


Asal muasal takut nya saya sama jarum suntik ini, karena waktu saya masih balita, My Dad praktek di rumah, dan hampir setiap hari saya mendengar bahkan sesekali melihat anak kecil nangis menjerit jerit dijahit sama My Dad, paling sering sih karena jatuh main sepeda, jatuh manjat pohon, sampai yang kepalanya bocor. Tangisan dan jeritan itu cukup membuat saya trauma. Adik adik saya tidak terkena trauma itu karena saat itu saat itu adik saya, Chiko masih bayi dan Lucy belum lahir, dan saat mereka balita ayah saya sudah tidak praktek lagi di rumah.


Singkat cerita


Trauma itu berkembang sedemikian dahsyatnya, sehingga saya tidak saja takut dengan jarum suntik, tapi juga takut berat ke dokter gigi, selain jarum suntik desingan bor di dokter gigi, bisa membuat saya keringat dingin disertai lemas nyaris pingsan. Dan celakanya, gigi saya juga sangat manja, jadi langganan kesayangan dokter gigi, sebentar sebentar ke dokter gigi. Dan saking terkenalnya saya di rumah sakit akan kecengengan dan kemanjaan, daripada malu maluin, setiap ke dokter gigi, My dad selalu menyertakan beberapa “ajudan” nya untuk mendampingi saya ke dokter gigi. Sebenarnya sih lebih tepatnya untuk jadi sasarana cakar dan cengkraman saya yang super histeris kala disuntik. Tapi karena My Dad orang yang sangat berpengaruh di rumah sakit itu, jadilah ajudannya tidak berdaya setiap ada penugasan mendampingi saya ke dokter gigi. Kasihan banget ya mereka. Mungkin karena kelakuan saya ini, di mata mereka, meskipun sudah 36 tahun, saya tetap anak kecil selamanya di mata mereka. Sampai sekarang saja, mereka masih manggil nama saya dengan nama kesayangan, Non Amy.


Terakhir saat opname gara gara malaria sialan itu, pembuluh darah saya yang kelewat tipis, sehingga jarum infus untuk bayi pun susah sekali masuk ke pembuluh darah, saya terkaing kaing histeris, karena butuh beberapa kali tusuk di tangan saya untuk memasukan jarum infus mini tersebut. Saking seringnya di infus, saya sampai hapal speud nr 22 untuk tangan kanan dan speud nr 24 untuk tangan kiri yang bisa masuk . Butuh 20 orang untuk mencoba memasukan jarum suntik tersebut. Selain memang sulit, mungkin karena sayanya tegang juga. My Dad enggak tega menusuk putri kesayangannya, jadi yang dicemberutin ya paramedis paramedis itu… Dan sepertinya cemberutnya My Dad petaka untuk mereka. Maafin aku ya. Aku tidak bermaksud menyusahkan kalian.


Karena saya tidak ingin anak anak saya bernasib seperti saya, saya berusaha membuat mereka ke dokter jadi menyenangkan, walaupun apapun alasan ke dokter pastinya tidak menyenangkan. Anak saya yang paling besar, Aless, kelakuannya mirip saya, amat sangat penakut di dokter, terutama melihat jarum suntik, karena dia sempat sering melihat grand pa nya praktek dan operasi di rumah sakit. Carlo dan Matteo mungkin seperti Papanya, sangat pemberani di rumah sakit. Carlo malah sejak dulu, setiap diimunisasi, yang ada malah melototin dokternya, Om Dr Alfred Siahan SpA dengan muka marah, sampai dokternya ketakutan sendiri. Carlo memang sering galak kayak Papanya hehehe… Aless dan Matteo manis, sweet boys seperti mommynya, tentunya. Matteo paling hanya teriak sedikit… mmmmmppphhhh… tapi tidak sampai menangis berurai airmata seperti Mommy…


Saya pernah tiba tiba harus masuk rumah sakit, gara gara malaria norak itu, dan ketiga pangeran pangeran kecil saya itu ingin sekali menemani Mommynya yang terkapar lemas. Mereka selalu mencemaskan saya. Karena tidak tahan menahan rasa sakit yang luar biasa karena bolak balik ditusuk untuk masukin jarum infus sialan, saya menangis histeris tidak terkontrol lagi. Eh tiba tiba, Aless bilang sama saya, “ Mama, diam dong, jangan nangis dong, kalau kita yang ke dokter, kita enggak boleh nangis, enggak boleh teriak teriak, kenapa Mama sekarang teriak teriak kalo disuntik??? Ketahuan ya, yang sebenarnya penakut takut disuntik tuh Mama, bukan kita…. “ trus mereka bertiga ketawa ketawa. Gubraaaaakkkkkssssssssssss… waduh, malu banget, ketahuan kartunya deh saya di depan anak anak saya, gara gara saya enggak bisa jaim untuk tidak menangis saat disuntik depan mereka. Terus terang jadi malu hati sendiri deh saya dibuat si Aless.


Dan yang buat saya semakin malu nih, ceritanya, tidak beberapa lama setelah masuk rumah sakit, anak saya, Carlo diimunisasi, eh, tiba tiba dibilang begini sama abangnya, di depan saya….. Aless, tadi aku disuntik, tapi tidak nangis loh, tidak seperti Mamah, aku tidak cengeng…

Duh, malu banget rasanya, mungkin kalau ada kolam, barangkali saya sudah nyemplung ke kolam. Mungkin sudah saatnya saya menyadari kalau anak-anak saya sebentar lagi bukan anak anak lagi. Mereka sudah bisa ngerumpiin saya… duh duh duh…


* Photo, courtesy of Visensia Erina *